Selasa, 31 Oktober 2017

One Man One Promise: Musnahkan (Pertautan Korupsi dan HAM) dengan “Generasi Baja Berpancasila”

“Negeriku usang dicaci, lumpuh dirampasi.
Air matanya mengucur melihat Sang Berkepentingan itu.
Mengapa? Mengapa? Kau makan keringat bangsa ini!
Dimanakah, pisau hukum yang hakiki?...”

Apa kabar anti korupsi Indonesia? Sapaan bagi korupsi di Indonesia sepertinya perlu dilakukan untuk hari-hari ini. Agar kita lebih optimis untuk memberantas korupsi. Berbicara mengenai korupsi, tampaknya itu merupakan sebuah kejahatan kelas kakap yang seringkali menggelitik ingatan kita akan sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh banyak orang terpandang di negeri ini. Sesungguhnya negara Indonesia sudah banyak sekali memberikan banyak terobosan untuk memberantas korupsi, tapi semuanya sudah terlanjur mengakar di setiap sendi kehidupan bangsa ini.
Bukannya tanpa solusi, sebab menurut Transparency International (TI) dalam Corruption Perception Index (CPI) 2015 Indonesia sudah mengalami kenaikan konsisten dalam pemberantasan korupsi, namun terhambat oleh masih tingginya korupsi di sektor penegakan hukum dan politik. Tanpa kepastian hukum dan pengurangan penyalahgunaan kewenangan politik, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan turun dan memicu memburuknya iklim usaha di Indonesia. Perlunya sebuah transformasi untuk membersihkan Indonesia dari korupsi.
Adanya LPSK atau (Lembaga Perlindungan Saksi Korban) merupakan lembaga independen yang memang didirikan untuk melindungi para saksi dan korban dalam setiap kasus yang terjadi di Negara ini akan lebih membuka kesempatan besar bagi setiap orang untuk berkata jujur mengenai semua tindakan korupsi yang bisa terjadi di depan mata.
Ketika kepentingan menjadi komando bagi setiap pasukan berkepentingan di negeri ini, pejabat negara pun rela mengelabui hukum yang menjadi jembatan suksesi perampokan bangsa. Meski hukum menjadi Panglima, nyatanya kepentingan lah yang merajai. Ambisi yang salah dengan keinginan kekuasaan yang parsial membuat seorang pelaku menerjang hukum demi kejayaan yang semu. Meski tetap dijadikan sumber utama, sistem kekuasaan masih merupakan dominasi yang dapat mengelabuhi hukum sebagai akibat lemahnya kepastian hukum, melenyapkan (social temper) kelapangan sosial, (social manner) kesantunan sosial, etika yang terabaikan, merosotnya kebersamaan, kepatuhan hukum, dan penyakit sosial lainnya.[1]
Ironis jika setiap harinya kita mendengar berita mengenai korupsi yang dilakukan oleh para politisi. Baik dari kelas teri hingga kelas kakap. Sejak era reformasi yang sudah berjalan selama 16 tahun ini, kasus korupsi semakin menjadi-jadi. Jika dahulu pelakunya secara diam-dima di bawah meja melakukan korupsi. Sekarang justru terang-terangan melakukannya. Korupsi telah menjadi candu bagi masyarakat Indonesia. Korupsi tidak hanya menyerang kehidupan politik, tapi juga di setiap elemen bangsa. Pelaku yang ditindak oleh aparat berasal dari profesi yang sangat beragam. Baik pelaku korupsi dari birokrasi, pemerintahan, DPR, DPRD, kalangan Perguruan Tinggi, sekolah, bahkan pelaku bisnis. Rakyat kecil pun melakukannya, seperti misalnya para pedagang beras, pedagang buah yang mengkorupsi timbangan dagangannya.
Korupsi berasal dari kata korup yang artinya buruk, rusak, busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi.[2] Kemudian menurut Jhonson dalam bukunya “Syndromes of Corruption”, korupsi adalah penyalahgunaan peran-peran, jabatan-jabatan publik atau sumber-sumber untuk keuntungan pribadi.  Korupsi telah ada sejak Indonesia kuno. Bahkan Azra mengatakan bahwa korupsi telah menjadi kultur yang membahayakan, pasalnya secara luas, korupsi sama tuanya dengan umur manusia atau sama tuanya adanya organisasi negara.[3] Diprtegas oleh Lord Acton korupsi dalam pernyataannya “power tend to corrupt and absolute power tend to corruptly”. Bahwa tak lain “kekuasaan cenderung korup” dan “kekuasaan yang absolut cenderung korup”. Kekuasaan memang nikmat dan sangat dekat dengan korupsi. Tapi sebenarnya telah banyak upaya pemberantasan korupsi, sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga mas Reformasi ini. Tapi kronisnya penyakit korupsi yang terus mewabah semakin menjadi peskitan di dalam negeri ini.
Berkaitan dengan korupsi yang disebut sebagai pelanggaran HAM. Secara harfiah hak asasi adalah hak pokok atau mendasar. Bahasan HAM di dunia, sejak terjadi diskusi internasional PBB mengenai hak asasi manusia dihasilkanlah piagam penting yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966), dan Deklarasi Wina (1993).[4] Sedangkan di Indonesia HAM diatur dalam dalam UUD 1945 BAB XA Pasal 28 A-J Tentang HAM dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Batu Sandungan Harga Diri Bangsa
Pada faktanya, kemerdekaan Indonesia yang telah diraih para pahlawan bangsa tak lantas membuat generasi yang sekarang sedang duduk mengisi kursi-kursi pejabat negara menjadi sadar bagaimana mengemban amanah. Tak terkecuali dalam kancah politik yang seringkali diwarnai dengan “gaya menghamba pada uang, gaya menghamba pada kepentingan”. Seperti yang dikatakan oleh Harold D. Laswell yaitu “politics is who gets what, when, and how”. Dan dipertegas oleh Peter Merkl dengan mengatakan “politics at worst is a selfish grab for power, glory, and riches”. Tak pelak banyak aktor politik yang tergelincir dalam kubangan ungkapan itu. Para pelaku politik yang duduk di pemerintahan dalam menjalankan amanahnya dengan mengunggul-unggulkan perebutan kuasa, tahta, dan harta. Politik memang perkara mendapatkan kekuasaan. Meski begitu, mereka terlupa bahwa janji kesejahteraan rakyat adalah roh dari berjalannya sistem politik.

Hubungan Kasus Korupsi dengan Pelanggaran HAM
Apakah kasus korupsi masuk dalam pelanggaran HAM? Secara substansi korupsi dan HAM tidak saling menyinggung. Tapi jika dilihat dari dampaknya, tentu terlihat sangat jelas bahwa korupsi akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Menurut Klitgaard, korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara untuk tujuan keuntungan pribadi dengan melanggar regulasi pelaksanaan kerja yang seharusnya.[5] Sehingga penyimpangan pelaku birokrasi dan pemerintahan telah membuat rakyat kurang sejahtera. Menurt Oktavianus, itu artinya dengan perbuatan korupsi telah terjadi perampasan terhadap hak-hak masyarakat umum atas hak ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga korupsi telah membuat adanya pelanggaran HAM. Sebab akibat dari korupsi secara langsung bersentuhan dengan hajat hidup rakyat seperti penyediaan fasilitas umum, pemenuhan kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan yang layak. Adanya fakta tersebut membuktikan jika ada korelasi atau hubungan antara tindakan korupsi dengan pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, khususnya Hak Atas Pekerjaan, Hak Atas Rasa Aman bagi masyarakat, Hak untuk mendapatkan hidup yang layak, Hak Atas Kesehatan, Hak Pendidikan, Hak Atas Perumahan, dan Hak Atas Lingkungan Bersih dan Sehat.[6] Dipertegas oleh Indriyanto, ada doktrin yang berkembang dari International Convenant Economic and Social Right, jika pidana korupsi dimasukkan dalam pelanggaran HAM berat dan termasuk dalam gross  violation of human rights.[7] Sehingga dapat ditarik benang merah jika korelasi antara korupsi dan HAM adalah terlibat pada hubungan sebab-akibat atau pengaruh.

One Man One Promise: “Generasi Baja Berpancasila”
One Man One Promise, merupakan ungkapan bagi semangat anti korupsi yang seharusnya dimiliki oleh setiap bangsa Indonesia. Setiap orang harus berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melakukan korupsi. Janji ini bisa menjadi tali pengikat setiap kita untuk takut akan Tuhan dan memiliki kasih pada Negara. Baja adalah senyawa yang kuat, tidak mudah bengkok, dan tidak bisa retak. Ini lah sebuah perumpamaan yang saya kaitkan dengan pembentukan generasi yang kuat. Apabila tahun-tahun sekarang ini, bangsa Indonesia mengutamakan pendidikan dengan basis norma yang kuat tentu akan membentuk generasi yang lebih baik selanjutnya. Generasi yang sedang duduk di pemerintahan saat ini tampaknya sulit sekali dijadikan teladan. Apalagi kasus korupsi yang melilit image seakan politik adalah hal yang keji.
Esensi ide ini adalah penggunaan Pancasila sebagai perisai generasi baja yang siap tempur di medan pemerintahan sepuluh, dua puluh tahun setelah ini. Anak didik sekarang ini perlu dibentuk sejak dini untuk menjadi jiwa Pancasilais yang sangat anti terhadap korupsi. Seperti di Finlandia misalnya, orang-orang yang berbohong saja sudah dibenci dan dianggap memnjijikkan. Bandingkan di negara kita, para koruptor dengan dalih kebohongannya berhasil mengelabui hukum bangsa ini. Seringkali hukum bangsa ini terasa tumpul ke atas dan runcing ke bawah.
Sebagai negara muda merdeka, Indonesia seringkali melupakan jati dirinya dan tergeleincir dalam arus globalisasi. Terlebih lagi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 mendatang menghantui pikiran kita dan menunjuk-nunjuk pada pertanyaan “bagaimana nasib bangsa ini selanjutnya?”. Tapi jangan sampai rasa pesimis itu menimang-nimang dan menina-bobokkan kita pada posisi yang rendah diri dan tidak memahami potensi bangsanya sendiri. Hal ini melesatkan pikiran kita akan sebuah ideologi bangsa yang selama ini kita anut. Meski perlahan semua terasa diformalitaskan. Bayangkan saja, jika Pancasila itu hanya menjadi hafalan setiap upacara dan dijadikan sumber dari segala sumber hukum secara formalitas saja, tanpa menerapkan apa maknanya. Sudah saatnya kita sebagai generasi muda yang kuat, mencintai Pancasila dan menjadikannya benteng pemusnah praktek korupsi yang sudah sedemkian parah. Menurut Naufel, Pancasila sebagai weltanschauung yang mengandung cita-cita, harapan, dan tujuan. Bung Hatta menggulirkan argumentasi fundamental yakni hubungan kooperatif (co-operatif realtionship) yang seharusnya menjadi pijakan masyarakat Indonesia.[8] Hal ini menunjukkan bahwa kita harus membangun hubungan kooperatif terhadap semua rakyat untuk mengatakan bahwa kita “harus musnahkan korupsi bersama”. Pancasila bukan lah seperangkat ideologi yang eksklusif, beku, dan kaku, melainkan sebuah ideologi yang siap menerima perubahan zaman. Meski begitu, nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila tentu mengandung nilai nasionalisme. Sehingga negarawan sejati pasti tidak akan tega mengkhianati bangsanya sendiri. Sesungguhnya bangsa ini merindukan negarawan sejati, bukan politisi yang licik seperti yang sering kita lihat sekarang ini.

Jalan Jitu di Tengah Persimpangan: Musnahkan (Pertautan Korupsi dan HAM)
Oleh karena itu, pertautan antara Korupsi dan HAM harus segera dimusnahkan. Keduanya bagaikan mata uang, korupsi di gambar pertama, dan pelanggaran HAM di gambar kedua. Kasus korupsi membuat ribuan rakyat dirusak kesejahteraannya, direnggut hidup layaknya, ditindas oleh keterpurukan ekonomi. Rakyat kecil sungguh menderita akan tingkah laku pejabat negara yang mengambil haknya. Pemusnahan itu akan berjalan dengan baik jika generasi penerus terus dididik dan dibentuk menjadi generasi baja. Generasi baja yang diharapkan adalah generasi yang benar-benar menerapkan Pancasila. Pancasila sebagai ideologi harus dipegang erat, serta dimplementasikan secara nyata. Pancasila bukan lah lambungan yang usang dimakan zaman. Tapi Pancasila adalah kubahan semangat berbangsa dan bernegara untuk menjadikan rakyat Indonesia mencintai bangsanya. Bagi seorang negarawan, korupsi adalah hal yang kejam. Sebab politik hakikatnya adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Apabila wakil rakyat melakukan korupsi, maka sesungguhnya mereka telah tega merenggut kesejahteraan bangsa. Itu artinya pelaku koruptor telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap ribuan rakyat.



[1] Ahmad Naufel, dkk, Pancasila Budaya Virtual, dan Globalisasi (Purwokerto: OBSESI PRESS, 2014), hlm 3.
[2] Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indinesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
[3] Azyumardi Azra, “Kata Pengantar Pendidikan Anti Korupsi Mengapa Penting”, dalam Karlina Helmika dan Sukron Kamil, Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi, (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006).
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008).
[5] Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi. Terjemahan Harmojo, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015)
[6] Oktavianus Lawalata, 2001, Korupsi dan Pelanggaran HAM, Artikel Fakultas Hukum UNPATTI,  Tersedia di http://fhkum.unpatti.ac.id/artikel/korupsi/254-korupsi-dan-pelanggaran-hak-asasi-manusia, 2001.
[7] Indriyanto, 2002, Korupsi merupakan Pelanggaran HAM Berat, Tersedia di http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2599.
[8] Ahmad Naufel dkk , Pancasila Budaya Virtual dan Globalisasi, (Purwokerto: OBSESI PRESS, 2014).

1 komentar:

Kontribusi Bagi Bangsa Melalui Pendidikan: Dataprint Sahabat Printerku, Dataprint Sahabat Beasiswaku

Semua pihak harus ikut peduli bagi pendidikan bangsa Indonesia? Ya, pendidikan ialah jantung hidup bangsa kita. Dari pendidikan lah, terla...