Jumat, 01 Januari 2016

Optimalisasi Industri Tebu Berbasis Desa Wisata Agroforestry Menuju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi Sumber Daya Alam yang sangat besar. Potensi tersebut jika dikelola dengan baik oleh Sumber Daya Manusia secara bijaksana akan menghasilkan sinergi modal sosial. Modal sosial menurut teoritis kenamaan Fukuyama adalah “an intantiated informal norm that promotes co-operration between two or more individuals by this definition, trust, network, civil society, and the like, wich have been associated with social capital, are all epiphenominal, arising as a result of social capital it self.[1]  Sehingga adanya modal sosial akan menjadi penopang tumbuhnya pembangunan, khususnya dalam penguatan ekonomi.
Salah satu penopang dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia ialah tebu. Perkembangan industry tebu sendiri menunjukkan adanya perbedaan harga dengan komoditas gula di tahun sebelumnya yang berharga dua kali lipat dari komoditas beras, tapi saat ini harganya setara dengan komoditas harga beras. Sehingga industry tebu saat ini bias dibilang tergeser pendapatannya dan yang penting hanya menutup harga produksi saja. Akibatnya industry tebu harus mencari sumber-sumber pendapatan dari komoditas lain selain gula itu sendiri. Industry tebu selain memproduksi gula juga menghasilkan tetes (molasses), blotong, abu ketel, dan ampas tebu sebagai usaha sampingan.
Perlunya sebuah terobosan untuk mempertahankan usaha industry tebuagar terus bertahan dan bahkan berkembang. Bias saja melalui desa wisata agroforestry, agar ketercapaian pertumbuhan ekonomi tebu dan cane sugar based industry dapat menjadi salah satu peluang penguatan ekonomi Indonesia.

Optimalisasi Industri Tebu Berbasis Desa Wisata Agroforestry
Potensi kebutuhan gula nasional yang terus meningkat di tahun 2015, seperti 5,77 juta ton, di tahun 2016 sebesar 5,97 juta ton, dan naik di tahun 2017 sebesar 6,17 juta ton. Dalam perjalanan selanjutnya, industry tebu sudah mulai berkembang untuk mengelola produk sampingan berupa blotong dan abu ketel menjadi produk kompos. Sehingga penjualan pupuk kompos. Sehingga pabrik dapat meningkatkan pendapatannya dari penjualan pupuk kompos. Sebenarnya tebu juga dapat menghasilkan gula, bioethanol, bioelecticity, bioplastik, dan biohidrokarbon. Sehingga potensi industry tebu dapat terus surviving, sustaining and growing terus terbuka lebar.
Adanya desa wisata industry tebu berbasis agroforestry akan memungkinkan segala perkembangan pengolahan tebu tersebut. Sebab adanya desa wisata akan memungkinkan pengunjung dapat merasakan segala kemungkinan hiburan di sisi lain untuk melihat pengolahan tebu, dan membeli berbagai macam produk olahan tebu.
Pertama, desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.[2] Konsep utama dalam desa wisata adalah sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk. Selanjutnya ialah mengenai konsep atraksi. Seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif misalnya kursus mengolah gula jika dikaitkan dengan industry gula.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 menyebutkan jika pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk objek wisata dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Kemudian derivasi dari kepariwisataan adalah adanya desa wisata. Dipertegas oleh Agus Muriawan Putra dalam Jurnal Manajemen Pariwisata Triatma Mulya, desa wisata merupakan pengembangan suatu wilayah (desa) dengan memanfaatkan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat desa yang dapat berfungsi sebagai atribut wisata. Sehingga dengan adanya desa wisatasetidaknya secara otomatis ini adalah cara menarik pasar, wisatawan, atau pengunjung.[3] Sehingga peluang desa wisata untuk mempertahankan industry tebu merupakan suatu terobosan yang pas.
Kedua, perlunya strategi untuk mengembangkan salah satu industri kreatif berbasis desa wisata dengan penguatan Agroforestry dan kebudayaan. Menurut istilah, agroforestry dalam bahasa Inggris berasal dari kata agro berarti pertanian dan forestry berarti kehutanan. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “wanatani”, wana berarti hutan dan tani berarti pertanian. Secara luas agroforestry adalah penggabungan sistem budidaya kehutanan, pertanian, dan perikanan.
Wisata agroforestry memiliki banyak keuntungan di bidang peningkatan produktivitas lahan. Sistem agroforestry memungkinkan penggabungan budidaya pertanian, peternakan, dan kehutanan dalam satu kawasan. Sehingga masalah kurangnya lahan yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan di bidang pertanian dapat diatasi menggunakan sistem agroforestry. Selain itu agroforestry dapat menjamin ketersediaan pangan di suatu daerah bagi petani ketika bukan musim panen. Secara ekonomi sosial, sistem agroforestry akan berdampak peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. 
Penanaman berbagai macam pohon dengan banyak teknik maupun sistem pada suatu lahan sudah seringkali kita dengar di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakin meluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Tapi akan unik jika sebuah sistem pertanian dikemas dalam sebuah desa wisata dengan kombinasi sistem kebudayaan. Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestry sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestry yang telah dikembangkan petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak berabad-abad yang lalu. Agroforestry merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Sehingga selain mendayagunakan pertanian juga melestarikan alam kehutanan.
Agroforestry diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan hasil pangan. Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad, misalnya sistem ladingberpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan. Contoh lain yang umum dijumpai di Jawa adalah hamparan persawahan dan tegalan produktif yang diselang-selingi oleh rerumpunan pohon. Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut mempunyai struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies tanaman. Berdasarkan motivasi yang dimiliki petani, terdapat dua sistem terbentuknya agroforestry di lapangan yaitu sistem bercocok tanam dengan cara tradisional atau sistem modern. Sistem tradisional adalah sistem yang dikembangkan dan diuji sendiri oleh petani, sesuai dengan keadaan alam dan kebutuhan atau permintaan pasar, serta sejalan dengan perkembangan pengalamannya selama bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi.
Jadi, yang dimaksudkan dengan konsep desa wisata tebu berbasis agroforestry ialah perkembangan industry tebu di sebuah kawasan pedesaan khusus yang menggambarkan adanya perkebunan tebu di suatu kawasan, beserta pengelolaannya. Sehingga memungkinkan adanya pengunjung di suatu kawasan tersebut, selain untuk mendapatkan nuansa wisata tapi juga dapat melihat langsung produksi tebu termasuk pembuatan gula, dan produk lain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya seperti pengolahan tetes (molasses), blotong, abu ketel, ampas tebu, bioethanol, bioelecticity, bioplastik, dan biohidrokarbon. Sehingga pengunjung juga dapat menikmati berbagai macam olahan makanan yang berasal dari tebu, dapat membeli pupuk kompos, dan dapat menikmati pemandangan alam.
Sebab konsep ini sebenarnya juga sejalan dengan visi PTPN X (Persero) yang mulai tahun 2010 mulai dapat menggali potensi-potensi dan menginventarisir kekuatan dan kelemahan untuk mengintegrasikan pabrik gula secara modern yang terdiri dari beberapa pabrik yang berbeda namun tetap berbasis tebu. Terwujudnya suatu sugar cane based industry dapat didukung melalui opimalisasi desa wisata agroforestry dalam suatu kawasan agar dapat bernilai positif sebagai dampak wisata, penghasilan industry berbasis tebu, dan meningkatkan kekuatan ekonomi di Indonesia.
Mengapa industry berbasis tebu harus terintegrasi? Sebab industry tebu sendiri merupakan poros atau penggerak yang tidak akan berjalan jika pabrik gula tidak berproduksi. Sehingga untuk mempertahankan pendapatan gula maka perlunya sebua konsep sebagai bahan dasar pengembangan melalui desa wisata. Sebab oleh pengertian agroforestry dapat menjadikan satu sebuah konsep kehutanan, pertanian, dan pengembangan hasil alam dalam satu kawasan. Sebab untuk mewujudkan sugar cane based industry salah satu caranya ialah memperkuat pondasi dari industry gula itu sendiri. Sehingga pabrik berbasis tebu dapat memiliki kinerja yang berdaya tahan tinggi dalam kondisi good maintain agar dapat tercipta zero defect selama proses berlangsung. Agar dapat berdaya tahan tinggi konsep desa wisata ini untuk memenuhi pengolahannya perlu mesin yang berkualitas dan di handle oleh SDM yang cukup, dan adanya harmonisasi dengan para masyarakat setempat untuk mengelola bersama pengembangan ini.

Deposisi Permenungan: Langkah Industri Berbasis Tebu Menjadi Penopang Ekonomi Indonesia
            Segala bentuk upaya pemerintah mengembalikan kejayaan pergulaan nasional sudah dicanangkan tapi masih perlu penguatan di segala bidang. Perekonomian nasional di sector industry tebu memang lah belum maksimal karena kebutuhan gula nasional belum terpenuhi. Banyak factor yang membuat hal itu terjadi, salah satunya ialah harga komoditas gula yang menurun. Sehingga perlunya berbagai macam pengembangan usaha tebu baik untuk terus bekerja sama dengan pihak pemerintah maupun swasta. Sehingga terobosan Industri Tebu Berbasis Desa Wisata Agroforestry memanglah dibutuhkan untuk mewujudkan Cane Sugar Based Industry.
            Kini tinggal bagaimana kita ikut berperan aktif dalam peningkatan pendapatan dari industry tebu sebagai penunjang kebutuhan gula nasional. Sebab gula juga merupakan sebuah kebutuhan pokok manusia pada umnya. Kontibusi dapat diberikan oleh pihak yang berkepentingan, swasta maupun pemerintah, dan masyarakat untuk terus saling bersinergi dan memberikan ide-ide pengembangan pendapatan industry tebu dan gula.


[1] Fukuyama, Trust: The Social Virtues and Creation of Prosperity, (New York: Free Press, 2001).
[2] Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective, and Challenges. Artikel. Universitas Gadjah Mada
[3] Agus Muriawan, Putra, 2006, Konsep Desa Wisata. Jurnal Manajemen Pariwisata Triatma Mulya Bali, Vol 5, No. 1.

Kontribusi Bagi Bangsa Melalui Pendidikan: Dataprint Sahabat Printerku, Dataprint Sahabat Beasiswaku

Semua pihak harus ikut peduli bagi pendidikan bangsa Indonesia? Ya, pendidikan ialah jantung hidup bangsa kita. Dari pendidikan lah, terla...