“Negeriku usang dicaci, lumpuh
dirampasi.
Air matanya mengucur melihat Sang
Berkepentingan itu.
Mengapa? Mengapa? Kau makan
keringat bangsa ini!
Dimanakah, pisau hukum yang hakiki?...”
Apa
kabar anti korupsi Indonesia? Sapaan bagi korupsi di Indonesia sepertinya perlu
dilakukan untuk hari-hari ini. Agar kita lebih optimis untuk memberantas
korupsi. Berbicara mengenai korupsi, tampaknya itu merupakan sebuah kejahatan
kelas kakap yang seringkali menggelitik ingatan kita akan sebuah pelanggaran
yang dilakukan oleh banyak orang terpandang di negeri ini. Sesungguhnya negara
Indonesia sudah banyak sekali memberikan banyak terobosan untuk memberantas korupsi,
tapi semuanya sudah terlanjur mengakar di setiap sendi kehidupan bangsa ini.
Bukannya
tanpa solusi, sebab menurut Transparency International (TI) dalam Corruption
Perception Index (CPI) 2015 Indonesia sudah mengalami kenaikan konsisten dalam
pemberantasan korupsi, namun terhambat oleh masih tingginya korupsi di sektor
penegakan hukum dan politik. Tanpa kepastian hukum dan pengurangan
penyalahgunaan kewenangan politik, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan
turun dan memicu memburuknya iklim usaha di Indonesia. Perlunya sebuah
transformasi untuk membersihkan Indonesia dari korupsi.
Adanya
LPSK atau (Lembaga Perlindungan Saksi Korban) merupakan lembaga independen yang
memang didirikan untuk melindungi para saksi dan korban dalam setiap kasus yang
terjadi di Negara ini akan lebih membuka kesempatan besar bagi setiap orang
untuk berkata jujur mengenai semua tindakan korupsi yang bisa terjadi di depan
mata.
Ketika
kepentingan menjadi komando bagi setiap pasukan berkepentingan di negeri ini,
pejabat negara pun rela mengelabui hukum yang menjadi jembatan suksesi
perampokan bangsa. Meski hukum menjadi Panglima, nyatanya kepentingan lah yang
merajai. Ambisi yang salah dengan keinginan kekuasaan yang parsial membuat
seorang pelaku menerjang hukum demi kejayaan yang semu. Meski tetap dijadikan
sumber utama, sistem kekuasaan masih merupakan dominasi yang dapat mengelabuhi
hukum sebagai akibat lemahnya kepastian hukum, melenyapkan (social temper) kelapangan sosial, (social manner) kesantunan sosial, etika yang terabaikan,
merosotnya kebersamaan, kepatuhan hukum, dan penyakit sosial lainnya.[1]
Ironis
jika setiap harinya kita mendengar berita mengenai korupsi yang dilakukan oleh
para politisi. Baik dari kelas teri hingga kelas kakap. Sejak era reformasi
yang sudah berjalan selama 16 tahun ini, kasus korupsi semakin menjadi-jadi.
Jika dahulu pelakunya secara diam-dima di bawah meja melakukan korupsi.
Sekarang justru terang-terangan melakukannya. Korupsi telah menjadi candu bagi
masyarakat Indonesia. Korupsi tidak hanya menyerang kehidupan politik, tapi
juga di setiap elemen bangsa. Pelaku yang ditindak oleh aparat berasal dari
profesi yang sangat beragam. Baik pelaku korupsi dari birokrasi, pemerintahan,
DPR, DPRD, kalangan Perguruan Tinggi, sekolah, bahkan pelaku bisnis. Rakyat
kecil pun melakukannya, seperti misalnya para pedagang beras, pedagang buah yang
mengkorupsi timbangan dagangannya.
Korupsi
berasal dari kata korup yang artinya buruk, rusak, busuk, suka memakai barang
(uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi.[2]
Kemudian menurut Jhonson dalam bukunya “Syndromes
of Corruption”, korupsi adalah penyalahgunaan peran-peran, jabatan-jabatan
publik atau sumber-sumber untuk keuntungan pribadi. Korupsi telah ada sejak Indonesia kuno. Bahkan
Azra mengatakan bahwa korupsi telah menjadi kultur yang membahayakan, pasalnya
secara luas, korupsi sama tuanya dengan umur manusia atau sama tuanya adanya
organisasi negara.[3] Diprtegas
oleh Lord Acton korupsi dalam pernyataannya “power tend to corrupt and absolute
power tend to corruptly”. Bahwa tak lain “kekuasaan cenderung korup” dan
“kekuasaan yang absolut cenderung korup”. Kekuasaan memang nikmat dan sangat
dekat dengan korupsi. Tapi sebenarnya telah banyak upaya pemberantasan korupsi,
sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga mas Reformasi ini. Tapi kronisnya penyakit
korupsi yang terus mewabah semakin menjadi peskitan di dalam negeri ini.
Berkaitan
dengan korupsi yang disebut sebagai pelanggaran HAM. Secara harfiah hak asasi
adalah hak pokok atau mendasar. Bahasan HAM di dunia, sejak terjadi diskusi
internasional PBB mengenai hak asasi manusia dihasilkanlah piagam penting yaitu
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvenan Internasional Hak Sipil
dan Politik, Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966), dan
Deklarasi Wina (1993).[4]
Sedangkan di Indonesia HAM diatur dalam dalam UUD 1945 BAB XA Pasal 28 A-J
Tentang HAM dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Batu Sandungan Harga Diri Bangsa
Pada
faktanya, kemerdekaan Indonesia yang telah diraih para pahlawan bangsa tak
lantas membuat generasi yang sekarang sedang duduk mengisi kursi-kursi pejabat
negara menjadi sadar bagaimana mengemban amanah. Tak terkecuali dalam kancah
politik yang seringkali diwarnai dengan “gaya menghamba pada uang, gaya
menghamba pada kepentingan”. Seperti yang dikatakan oleh Harold D. Laswell
yaitu “politics is who gets what, when,
and how”. Dan dipertegas oleh Peter Merkl dengan mengatakan “politics at worst is a selfish grab for
power, glory, and riches”. Tak pelak banyak aktor politik yang tergelincir
dalam kubangan ungkapan itu. Para pelaku politik yang duduk di pemerintahan
dalam menjalankan amanahnya dengan mengunggul-unggulkan perebutan kuasa, tahta,
dan harta. Politik memang perkara mendapatkan kekuasaan. Meski begitu, mereka
terlupa bahwa janji kesejahteraan rakyat adalah roh dari berjalannya sistem
politik.
Hubungan Kasus Korupsi dengan
Pelanggaran HAM
Apakah
kasus korupsi masuk dalam pelanggaran HAM? Secara substansi korupsi dan HAM
tidak saling menyinggung. Tapi jika dilihat dari dampaknya, tentu terlihat
sangat jelas bahwa korupsi akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Menurut
Klitgaard, korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi
sebuah jabatan negara untuk tujuan keuntungan pribadi dengan melanggar regulasi
pelaksanaan kerja yang seharusnya.[5]
Sehingga penyimpangan pelaku birokrasi dan pemerintahan telah membuat rakyat
kurang sejahtera. Menurt Oktavianus, itu artinya dengan perbuatan korupsi telah
terjadi perampasan terhadap hak-hak masyarakat umum atas hak ekonomi, sosial,
dan budaya, sehingga korupsi telah membuat adanya pelanggaran HAM. Sebab akibat
dari korupsi secara langsung bersentuhan dengan hajat hidup rakyat seperti
penyediaan fasilitas umum, pemenuhan kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan,
perumahan, pekerjaan yang layak. Adanya fakta tersebut membuktikan jika ada
korelasi atau hubungan antara tindakan korupsi dengan pemenuhan Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya, khususnya Hak Atas Pekerjaan, Hak Atas Rasa Aman bagi
masyarakat, Hak untuk mendapatkan hidup yang layak, Hak Atas Kesehatan, Hak
Pendidikan, Hak Atas Perumahan, dan Hak Atas Lingkungan Bersih dan Sehat.[6]
Dipertegas oleh Indriyanto, ada doktrin yang berkembang dari International
Convenant Economic and Social Right, jika pidana korupsi dimasukkan dalam
pelanggaran HAM berat dan termasuk dalam gross
violation of human rights.[7]
Sehingga dapat ditarik benang merah jika korelasi antara korupsi dan HAM adalah
terlibat pada hubungan sebab-akibat atau pengaruh.
One
Man One Promise: “Generasi
Baja Berpancasila”
One Man One Promise, merupakan
ungkapan bagi semangat anti korupsi yang seharusnya dimiliki oleh setiap bangsa
Indonesia. Setiap orang harus berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melakukan
korupsi. Janji ini bisa menjadi tali pengikat setiap kita untuk takut akan
Tuhan dan memiliki kasih pada Negara. Baja adalah senyawa yang kuat, tidak
mudah bengkok, dan tidak bisa retak. Ini lah sebuah perumpamaan yang saya
kaitkan dengan pembentukan generasi yang kuat. Apabila tahun-tahun sekarang
ini, bangsa Indonesia mengutamakan pendidikan dengan basis norma yang kuat
tentu akan membentuk generasi yang lebih baik selanjutnya. Generasi yang sedang
duduk di pemerintahan saat ini tampaknya sulit sekali dijadikan teladan.
Apalagi kasus korupsi yang melilit image seakan politik adalah hal yang keji.
Esensi
ide ini adalah penggunaan Pancasila sebagai perisai generasi baja yang siap
tempur di medan pemerintahan sepuluh, dua puluh tahun setelah ini. Anak didik
sekarang ini perlu dibentuk sejak dini untuk menjadi jiwa Pancasilais yang
sangat anti terhadap korupsi. Seperti di Finlandia misalnya, orang-orang yang
berbohong saja sudah dibenci dan dianggap memnjijikkan. Bandingkan di negara
kita, para koruptor dengan dalih kebohongannya berhasil mengelabui hukum bangsa
ini. Seringkali hukum bangsa ini terasa tumpul ke atas dan runcing ke bawah.
Sebagai
negara muda merdeka, Indonesia seringkali melupakan jati dirinya dan
tergeleincir dalam arus globalisasi. Terlebih lagi Masyarakat Ekonomi Asean
2015 mendatang menghantui pikiran kita dan menunjuk-nunjuk pada pertanyaan “bagaimana
nasib bangsa ini selanjutnya?”. Tapi jangan sampai rasa pesimis itu
menimang-nimang dan menina-bobokkan kita pada posisi yang rendah diri dan tidak
memahami potensi bangsanya sendiri. Hal ini melesatkan pikiran kita akan sebuah
ideologi bangsa yang selama ini kita anut. Meski perlahan semua terasa
diformalitaskan. Bayangkan saja, jika Pancasila itu hanya menjadi hafalan
setiap upacara dan dijadikan sumber dari segala sumber hukum secara formalitas
saja, tanpa menerapkan apa maknanya. Sudah saatnya kita sebagai generasi muda
yang kuat, mencintai Pancasila dan menjadikannya benteng pemusnah praktek
korupsi yang sudah sedemkian parah. Menurut Naufel, Pancasila sebagai weltanschauung yang mengandung
cita-cita, harapan, dan tujuan. Bung Hatta menggulirkan argumentasi fundamental
yakni hubungan kooperatif (co-operatif
realtionship) yang seharusnya menjadi pijakan masyarakat Indonesia.[8]
Hal ini menunjukkan bahwa kita harus membangun hubungan kooperatif terhadap
semua rakyat untuk mengatakan bahwa kita “harus musnahkan korupsi bersama”.
Pancasila bukan lah seperangkat ideologi yang eksklusif, beku, dan kaku,
melainkan sebuah ideologi yang siap menerima perubahan zaman. Meski begitu,
nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila tentu mengandung nilai nasionalisme.
Sehingga negarawan sejati pasti tidak akan tega mengkhianati bangsanya sendiri.
Sesungguhnya bangsa ini merindukan negarawan sejati, bukan politisi yang licik
seperti yang sering kita lihat sekarang ini.
Jalan Jitu di Tengah Persimpangan:
Musnahkan (Pertautan Korupsi dan HAM)
Oleh
karena itu, pertautan antara Korupsi dan HAM harus segera dimusnahkan. Keduanya
bagaikan mata uang, korupsi di gambar pertama, dan pelanggaran HAM di gambar
kedua. Kasus korupsi membuat ribuan rakyat dirusak kesejahteraannya, direnggut
hidup layaknya, ditindas oleh keterpurukan ekonomi. Rakyat kecil sungguh
menderita akan tingkah laku pejabat negara yang mengambil haknya. Pemusnahan itu
akan berjalan dengan baik jika generasi penerus terus dididik dan dibentuk
menjadi generasi baja. Generasi baja yang diharapkan adalah generasi yang
benar-benar menerapkan Pancasila. Pancasila sebagai ideologi harus dipegang
erat, serta dimplementasikan secara nyata. Pancasila bukan lah lambungan yang
usang dimakan zaman. Tapi Pancasila adalah kubahan semangat berbangsa dan
bernegara untuk menjadikan rakyat Indonesia mencintai bangsanya. Bagi seorang
negarawan, korupsi adalah hal yang kejam. Sebab politik hakikatnya adalah untuk
mensejahterakan rakyatnya. Apabila wakil rakyat melakukan korupsi, maka
sesungguhnya mereka telah tega merenggut kesejahteraan bangsa. Itu artinya
pelaku koruptor telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap ribuan rakyat.
[1] Ahmad Naufel, dkk, Pancasila Budaya Virtual, dan Globalisasi (Purwokerto: OBSESI PRESS, 2014), hlm 3.
[2] Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indinesia,(Jakarta:
Balai Pustaka, 2002).
[3] Azyumardi Azra, “Kata Pengantar Pendidikan Anti Korupsi
Mengapa Penting”, dalam Karlina Helmika dan Sukron Kamil, Pendidikan Anti
Korupsi di Perguruan Tinggi, (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006).
[5] Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi. Terjemahan Harmojo, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2015)
[6] Oktavianus Lawalata, 2001, Korupsi dan Pelanggaran HAM, Artikel
Fakultas Hukum UNPATTI, Tersedia di http://fhkum.unpatti.ac.id/artikel/korupsi/254-korupsi-dan-pelanggaran-hak-asasi-manusia,
2001.
[7] Indriyanto, 2002, Korupsi merupakan Pelanggaran HAM Berat,
Tersedia di http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2599.
[8] Ahmad Naufel dkk , Pancasila Budaya Virtual dan Globalisasi,
(Purwokerto: OBSESI PRESS, 2014).
Here's Best Porn Video
BalasHapus