Negara kita
sebentar lagi akan menghadapi perhelatan besar yang cukup bersejarah di bidang
politik. Yang mana, kita akan menyelenggarakan pemilu serentak untuk memilih
presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, dan DPD. Sebelumnya pemilu
dilaksanakan dua kali, yaitu untuk memilih presiden terlebih dahulu, baru lah
anggota legislatif. Tapi kali ini langsung serentak dengan memperhitungkan
perolehan suara partai 2014 silam.
Negara Indonesia
adalah negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila. Menurut Afan Gafar, ada
dua ciri negara demokratis. Ciri tersebut secara normatif seperti tertuang
dalam pasal Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, sedangkan secara empiris tolok ukur
negara demokratis adalah diselenggarakannya pemilu.
Ditegaskan oleh Miriam Budiardjo, bahwa prasyarat negara demokrasi adalah
adanya pemilu sebagai representasi kedaulatan rakyat.
Menurut Ramlan
Surbakti, pemilu diartikan sebagai mekanisme penyeleksi dan pendelegasian atau
penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai.
Pemilu merupakan proses untuk mewujudkan cita-cita rakyat dalam menyongsong
kehidupan bernegara yang lebih baik. Pemilu serentak akan dilaksanakan dalam
waktu dekat ini yaitu 17 April 2019. Bangsa kita benar-benar diramaikan oleh
pertarungan politik antara Jokowi dan Prabowo. Yang mana kedua tokoh negarawan
ini sebenarnya telah menjadi bintang dalam perhelatan pemilu di tahun 2014
silam.
Perhelatan besar
ini faktanya dibumbui dengan banyaknya politik hoax. Banyak sekali oknum yang
hendak menunggangi kepentingan pemilu sebagai ajang memenangkan golongannya
atau pribadinya. Generasi milenials atau generasi digital merupakan generasi
yang sangat riskan terhadap penyebaran berita di berbagai media. Banyak pelajar atau mahasiswa atau bahkan
pemuda-pemuda yang menjadi korban dari politik hoax.
Saat media tak
lagi menjadi sumber berita tapi sumber petaka, bagaimana seharusnya sikap kita?
“Generasi Anti Hoaks dan Baper” Sebagai Kunci
Suksesi Pemilu
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Hoaks mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber.
Akhir-akhir ini media bangsa kita sedang dipenuhi dengan berita hoaks, ujaran
kebencian, dan fitnah. Berita hoaks ini secara sengaja diviralkan untuk
kepentingan komersial pihak tertentu. Tapi sayangnya, efeknya sangat besar. Ada
sekali banyak berita hoaks yang meliputi SARA, penjatuhan martabat seorang
tokoh politik, atau pun tokoh terkenal.
Tujuan
dari berita hoaks ini memang cukup parah dan radikal. Khusunya jika sudah
mencakup hal-hal yang berbau SARA. Menurut data masyarakat Anti Fitnah dan Hoax Indonesia (Mafindo)
menyatakan isu politik paling banyak dijadikan bahan berita palsu. Berita palsu
soal politik yang beredar selama Juli sampai September 2018 sebanyak 58,7
persen. Disusul oleh isu agama dan penipuan sebesar 7,39 persen, dan isu lalu
lintas 6,96 pesen.
Sejak pilpres 2014 banyak timbul tren
negatif. Seperti menurunnya kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilihan
umum, kualitas pemilihan menurun. Hal itu merusak rasionalitas pemilih,
menimbulkan konflik sosial, dan meningkatnya eskalasi ujaran kebencian,
provokasi, agitasi, dan propaganda.
Setidaknya ada beberapa hal yang
perlu dilakukan anak muda atau pelaku generasi milenials untuk menjadi pemuda
yang anti hoaks, yaitu sebagai berikut:
1.
Sikap
Skeptis yang Ditanamkan di Dunia Pendidikan
Pemangku kepentingan di bidang
pendidikan seperti guru dan dosen sebaiknya memberikan pengertian kepada
generasi mudah untuk memiliki sikap skeptis. Jangan mudah percaya pada sesuatu
yang viral dan terkenal di dunia nyata. Tapi bersikap skeptic atau tidak mudah
percaya pada himbauan orang yang bermuatan SARA, ujuaran kebencian, dan
penurunan martabat seseorang.
2.
Baca
lah Berita Secara Komprehensif
Ada baiknya kebiasaan membaca di
kalangan pemuda terus ditingkatkan. Jangan hanya menjadi pendengar tanpa harus
membaca. Jika kita hanya hobi mendengar, maka kita akan sangat pasif ketika ada
yang menyebarkan berita hoaks. Kita harus membangun kebiasaan membaca di
kalangan pemuda. Sehingga jika ada informasi atau berita yang masuk, jangan
langsung ditelan tapi harus dicerna terlebih dahulu.
3.
Jangan
Mudah “Baper”
Istilah “baper” atau kebawa perasaan
ialah istilah “gaul” anak muda untuk mengatakan seorang anak yang mudah
tergiring dengan ucapan orang dan langsung dibawa ke hati. Ada baiknya ketika mendapatkan informasi di
media sosial, netizen perlu mengidentifikasi terlebih dahulu
apakah informasi tersebut fakta atau sekadar hoax. Kalau tidak
hati-hati, netizen bisa termakan tipuan hoax,
atau bahkan ikut menyebarkan informasi palsu yang boleh jadi sangat merugikan
bagi pihak korban fitnah.
Suksesi
Pemilu 2019 Ialah Ujung Tombak Kemajuan Demokrasi dan Pembangunan Nasional
Seluruh bangsa Indonesia harusnya
telah memiliki kesadaran khusus untuk lebih memperhatikan nasib bangsa kita ke
depannya. Jangan sampai kita merusak sejarah besar dalam pilpres dan pileg yang
dilakukan secara bersamaan. Apabila pemilu terwujud dengan aman, damai, dan
tertib. Maka kemungkinan besar pembangunan nasional juga akan terus meningkat
seiring berjalannya waktu.
Pembangunan nasional akan tetap
stabil jika kita telah berhasil mendudukkan seorang calon presiden menjadi
presiden. Cermati terlebih dahulu segala macam berita jangan langsung dimakan
mentah dan mau diajak demo atau diajak untuk melakukan gerakan melawan tanpa
dasar yang jelas.
Indonesia ialah negara yang snagat
besar dan sejahtera jika dikelola dengan baik. Kita bisa melewati PASAR ASEAN
dan bonus demografi 2020-2030 ke depan dengan menjadi usia produktif yang
berkualitas. Jangan biarkan bangsa kita dikuasai oleh oknum yang ingin membuat
mainset para bangsa menjadi kurang tepat. Pastikan lah bahwa generasi milenals
mau mencermati isi berita, melakukan cek pada foto, dan jangan buru-buru
melskuksn share iman. Indonesia tanpa hoaks, kualitas calon pemimpin bangsa
menjadi syarat utama dalam menentukan pilihan politik. Generasi anti hoaks
merupakan generasi penerus bangsa yang akan membawa kejayaan di tengah
tantangan dunia ke depannya. Kini tinggal bagaimana kita, apakah kita akan
menjadi generasi yang mudah diombang-ambingkan oleh berita hoaks atau justru
terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih selektif (?)