Indonesia merupakan negara yang
memiliki potensi Sumber Daya Alam yang sangat besar. Potensi tersebut jika
dikelola dengan baik oleh Sumber Daya Manusia secara bijaksana akan
menghasilkan sinergi modal sosial. Modal sosial menurut teoritis kenamaan Fukuyama
adalah “an intantiated informal norm that
promotes co-operration between two or
more individuals by this definition, trust, network, civil society, and the
like, wich have been associated with social capital, are all epiphenominal,
arising as a result of social capital it self.[1] Sehingga adanya modal sosial akan menjadi penopang tumbuhnya pembangunan,
khususnya dalam penguatan ekonomi.
Salah satu penopang dalam
pertumbuhan ekonomi di Indonesia ialah tebu. Perkembangan industry tebu sendiri
menunjukkan adanya perbedaan harga dengan komoditas gula di tahun sebelumnya
yang berharga dua kali lipat dari komoditas beras, tapi saat ini harganya
setara dengan komoditas harga beras. Sehingga industry tebu saat ini bias
dibilang tergeser pendapatannya dan yang penting hanya menutup harga produksi
saja. Akibatnya industry tebu harus mencari sumber-sumber pendapatan dari
komoditas lain selain gula itu sendiri. Industry tebu selain memproduksi gula
juga menghasilkan tetes (molasses),
blotong, abu ketel, dan ampas tebu sebagai usaha sampingan.
Perlunya sebuah terobosan untuk
mempertahankan usaha industry tebuagar terus bertahan dan bahkan berkembang.
Bias saja melalui desa wisata agroforestry,
agar ketercapaian pertumbuhan ekonomi tebu dan cane sugar based industry dapat menjadi salah satu peluang
penguatan ekonomi Indonesia.
Optimalisasi
Industri Tebu Berbasis Desa Wisata Agroforestry
Potensi kebutuhan gula nasional yang
terus meningkat di tahun 2015, seperti 5,77 juta ton, di tahun 2016 sebesar
5,97 juta ton, dan naik di tahun 2017 sebesar 6,17 juta ton. Dalam perjalanan
selanjutnya, industry tebu sudah mulai berkembang untuk mengelola produk
sampingan berupa blotong dan abu ketel menjadi produk kompos. Sehingga
penjualan pupuk kompos. Sehingga pabrik dapat meningkatkan pendapatannya dari
penjualan pupuk kompos. Sebenarnya tebu juga dapat menghasilkan gula, bioethanol, bioelecticity, bioplastik,
dan biohidrokarbon. Sehingga potensi industry
tebu dapat terus surviving, sustaining and growing terus terbuka lebar.
Adanya desa wisata industry tebu
berbasis agroforestry akan
memungkinkan segala perkembangan pengolahan tebu tersebut. Sebab adanya desa
wisata akan memungkinkan pengunjung dapat merasakan segala kemungkinan hiburan
di sisi lain untuk melihat pengolahan tebu, dan membeli berbagai macam produk
olahan tebu.
Pertama, desa wisata merupakan suatu bentuk
integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan
dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan
tradisi yang berlaku.[2]
Konsep utama dalam desa wisata adalah sebagian dari tempat tinggal para
penduduk setempat atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal
penduduk. Selanjutnya ialah mengenai konsep atraksi. Seluruh kehidupan
keseharian penduduk setempat beserta setting
fisik lokasi desa memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai
partisipasi aktif misalnya kursus mengolah gula jika dikaitkan dengan industry
gula.
Menurut Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 menyebutkan jika pariwisata adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan wisata, termasuk objek wisata dan daya tarik wisata
serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Kemudian derivasi dari
kepariwisataan adalah adanya desa wisata. Dipertegas oleh Agus Muriawan Putra dalam
Jurnal Manajemen Pariwisata Triatma Mulya, desa wisata merupakan pengembangan
suatu wilayah (desa) dengan memanfaatkan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat
desa yang dapat berfungsi sebagai atribut wisata. Sehingga dengan adanya desa
wisatasetidaknya secara otomatis ini adalah cara menarik pasar, wisatawan, atau
pengunjung.[3]
Sehingga peluang desa wisata untuk mempertahankan industry tebu merupakan suatu
terobosan yang pas.
Kedua,
perlunya
strategi untuk mengembangkan salah satu industri kreatif berbasis desa wisata
dengan penguatan Agroforestry dan
kebudayaan. Menurut istilah, agroforestry
dalam bahasa Inggris berasal dari kata agro
berarti pertanian dan forestry
berarti kehutanan. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “wanatani”,
wana berarti hutan dan tani berarti pertanian. Secara luas agroforestry adalah
penggabungan sistem budidaya kehutanan, pertanian, dan perikanan.
Wisata agroforestry memiliki banyak keuntungan di bidang peningkatan
produktivitas lahan. Sistem agroforestry
memungkinkan penggabungan budidaya pertanian, peternakan, dan kehutanan dalam
satu kawasan. Sehingga masalah kurangnya lahan yang diakibatkan oleh alih
fungsi lahan di bidang pertanian dapat diatasi menggunakan sistem agroforestry. Selain itu agroforestry dapat menjamin ketersediaan
pangan di suatu daerah bagi petani ketika bukan musim panen. Secara ekonomi
sosial, sistem agroforestry akan berdampak peningkatan kesejahteraan masyarakat
pedesaan.
Penanaman berbagai macam
pohon dengan banyak teknik maupun sistem pada suatu lahan sudah seringkali kita
dengar di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan
pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakin meluas
belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan ketersediaan
lahan yang semakin terbatas. Tapi akan unik jika sebuah sistem pertanian
dikemas dalam sebuah desa wisata dengan kombinasi sistem kebudayaan. Konversi
hutan alam menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti
penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan
dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu
ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi
lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestry
sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan.
Ilmu ini berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestry yang telah dikembangkan
petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak berabad-abad
yang lalu. Agroforestry merupakan
gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan
pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi
pertanian dan pelestarian hutan. Sehingga selain mendayagunakan pertanian juga
melestarikan alam kehutanan.
Agroforestry diharapkan
bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan
sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan hasil
pangan. Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di
Indonesia selama berabad-abad, misalnya sistem ladingberpindah, kebun campuran
di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan. Contoh lain yang
umum dijumpai di Jawa adalah hamparan persawahan dan tegalan produktif yang
diselang-selingi oleh rerumpunan pohon. Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut
mempunyai struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies
tanaman. Berdasarkan motivasi yang dimiliki petani, terdapat dua sistem
terbentuknya agroforestry di lapangan yaitu sistem bercocok tanam dengan cara
tradisional atau sistem modern. Sistem tradisional adalah sistem yang
dikembangkan dan diuji sendiri oleh petani, sesuai dengan keadaan alam dan
kebutuhan atau permintaan pasar, serta sejalan dengan perkembangan
pengalamannya selama bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi.
Jadi, yang dimaksudkan
dengan konsep desa wisata tebu berbasis agroforestry
ialah perkembangan industry tebu di sebuah kawasan pedesaan khusus yang
menggambarkan adanya perkebunan tebu di suatu kawasan, beserta pengelolaannya.
Sehingga memungkinkan adanya pengunjung di suatu kawasan tersebut, selain untuk
mendapatkan nuansa wisata tapi juga dapat melihat langsung produksi tebu
termasuk pembuatan gula, dan produk lain seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya seperti pengolahan tetes
(molasses), blotong, abu ketel, ampas
tebu, bioethanol, bioelecticity, bioplastik,
dan biohidrokarbon. Sehingga pengunjung juga dapat menikmati berbagai macam
olahan makanan yang berasal dari tebu, dapat membeli pupuk kompos, dan dapat
menikmati pemandangan alam.
Sebab konsep ini sebenarnya juga
sejalan dengan visi PTPN X (Persero) yang mulai tahun 2010 mulai dapat menggali
potensi-potensi dan menginventarisir kekuatan dan kelemahan untuk mengintegrasikan
pabrik gula secara modern yang terdiri dari beberapa pabrik yang berbeda namun
tetap berbasis tebu. Terwujudnya suatu sugar
cane based industry dapat didukung melalui opimalisasi desa wisata agroforestry dalam suatu kawasan agar
dapat bernilai positif sebagai dampak wisata, penghasilan industry berbasis
tebu, dan meningkatkan kekuatan ekonomi di Indonesia.
Mengapa industry berbasis tebu harus
terintegrasi? Sebab industry tebu sendiri merupakan poros atau penggerak yang
tidak akan berjalan jika pabrik gula tidak berproduksi. Sehingga untuk
mempertahankan pendapatan gula maka perlunya sebua konsep sebagai bahan dasar
pengembangan melalui desa wisata. Sebab oleh pengertian agroforestry dapat menjadikan satu sebuah konsep kehutanan,
pertanian, dan pengembangan hasil alam dalam satu kawasan. Sebab untuk
mewujudkan sugar cane based industry salah
satu caranya ialah memperkuat pondasi dari industry gula itu sendiri. Sehingga
pabrik berbasis tebu dapat memiliki kinerja yang berdaya tahan tinggi dalam
kondisi good maintain agar dapat
tercipta zero defect selama proses
berlangsung. Agar dapat berdaya tahan tinggi konsep desa wisata ini untuk
memenuhi pengolahannya perlu mesin yang berkualitas dan di handle oleh SDM yang cukup, dan adanya harmonisasi dengan para
masyarakat setempat untuk mengelola bersama pengembangan ini.
Deposisi
Permenungan: Langkah Industri Berbasis Tebu Menjadi Penopang Ekonomi Indonesia
Segala
bentuk upaya pemerintah mengembalikan kejayaan pergulaan nasional sudah
dicanangkan tapi masih perlu penguatan di segala bidang. Perekonomian nasional
di sector industry tebu memang lah belum maksimal karena kebutuhan gula
nasional belum terpenuhi. Banyak factor yang membuat hal itu terjadi, salah
satunya ialah harga komoditas gula yang menurun. Sehingga perlunya berbagai
macam pengembangan usaha tebu baik untuk terus bekerja sama dengan pihak
pemerintah maupun swasta. Sehingga terobosan Industri Tebu Berbasis Desa Wisata Agroforestry memanglah dibutuhkan untuk
mewujudkan Cane Sugar Based Industry.
Kini
tinggal bagaimana kita ikut berperan aktif dalam peningkatan pendapatan dari
industry tebu sebagai penunjang kebutuhan gula nasional. Sebab gula juga
merupakan sebuah kebutuhan pokok manusia pada umnya. Kontibusi dapat diberikan
oleh pihak yang berkepentingan, swasta maupun pemerintah, dan masyarakat untuk
terus saling bersinergi dan memberikan ide-ide pengembangan pendapatan industry
tebu dan gula.
[3]
Agus Muriawan, Putra, 2006, Konsep Desa Wisata. Jurnal Manajemen Pariwisata Triatma Mulya Bali, Vol 5, No. 1.